gairahtante.com Kejadian ini berlangsung sekitar bulan Maret 2023 yang lalu. Tanggal berapa tepatnya aku sudah lupa. Yang aku ingat, saat itu hubungan Syanti dengan Yoda sudah membaik, bahkan aku mendengar mereka telah bertunangan dan berencana untuk melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat ini.
Ketika itu mereka tinggal dalam sebuah rumah kost yang sama di daerah Selatan – Jakarta, meskipun berbeda kamar, karena saat itu Yoda sedang mendapat training di Jakarta selama 6 bulan. Sebagai bekas teman dan atasan Syanti, aku memang pernah dikenalkan dengan Yoda. Yoda ternyata begitu cemburuan.
Memang harus aku akui kalau Syanti memang cantik, bahkan terlalu cantik untuk ukuran Yoda itu. Padahal kalau menurutku sih, adalah hal yang biasa kalau serorang lelaki yang penampilan fisiknya biasa saja, ternyata memiliki seorang pacar yang cantik.
Aku mengatakan Syanti cantik, bukan merupakan penilaianku yang subyektif. Banyak teman-temanku lain yang juga berpendapat begitu. Bahkan beberapa diantaranya berpendapat sama, bahwa Syanti memiliki s*x appeal yang luar biasa tinggi.
Bagi kaum lelaki, jika memandang mata Syanti, boleh jadi langsung akan berfantasi macam-macam. Percaya atau tidak, mata Syanti begitu sayu seolah-olah ‘pasrah’ ditambah lagi dengan bibirnya yang seksi dan suka digigit-gigit, kalau Syanti sedang gemes.
Sungguh suatu ciptaan Tuhan yang sangat eksotis dan sensual. Ketika aku sempat mengobrol dengan Yoda minggu sebelumnya, secara tidak sengaja kami menemukan suatu peluang bisnis yang mungkin bisa dikerjakan bersama antara kantorku dengan kantornya.
Pikiran dagangku segera jalan dan aku menjanjikan untuk menitipkan sebuah proposal kepada Yoda untuk dibahas oleh tim kantornya di Malang. Siang itu, sehabis meeting dengan salah satu klienku di sebuah kantor di daerah Kuningan, aku berencana untuk mampir ke rumah kost Yoda ? yang juga rumah kost Syanti – untuk menitipkan proposal yang aku janjikan.
Aku mengendarai mobil menuju tempat kost Yoda. Sesampainya di sana, aku melihat garasi tempat mobil Yoda biasa diparkir dalam keadaan kosong yang menandakan Yoda sedang keluar. Namun aku tidak mengurungkan niatku untuk bertemu dengan Yoda.
Setelah aku memarkir mobil di depan halaman rumah kost itu, aku masuk menuju ruang tamu yang pada saat itu pintunya dalam keadaan terbuka, dan langsung menuju ke kamar Yoda. Di dalam rumah itu ada 4 kamar dan kamar Yoda yang paling pojok, berhadapan dengan kamar Syanti.
Masing-masing kamar kelihatan tertutup pertanda tidak ada kehidupan di dalam rumah itu. Aku ingin menulis pesan di pintu kamar Yoda karena memang aku sangat perlu dengannya. Sementara aku sedang menuliskan pesan, samar-samar terdengar suara televisi dari dalam kamar Syanti, di depan kamar Yoda, pertanda ada seseorang di dalam kamarnya.
Aku memastikan kalau yang di dalam kamar itu adalah Syanti, bukannya orang lain. Aku mengetuk pintu perlahan sambil memanggil nama Syanti. Tidak beberapa lama kemudian pintu dibuka kira-kira sekepalan tangan dan aku melihat wajah Syanti tampak dari celah pintu yang terbuka.
“Eh, Mas.. cari Mas Yoda yaa.. Tadi pagi sih ditungguin, tapi Mas Yoda buru-buru berangkat Mas”, jawabnya sebelum aku bertanya. Entah mengapa, ketika menatap mata Syanti yang sayu itu, pikiranku jadi teringat masa-masa indah yang pernah kami alami dulu.
Aku sambil tersenyum menatapnya seraya bertanya, “Kamu nggak ke kantor hari ini?”
“Lagi kurang enak badan nih, Mas, tadi Santi bangunnya kesiangan, jadi males banget ke kantor”, jawabnya singkat, sambil menggigit bibir bawahnya. Ada rasa menyesal kenapa dia harus membolos ke kantor hari ini.
“Terus, Yoda biasanya jam berapa pulangnya, Santi?”, tanyaku sekedar berbasa-basi.
“Mestinya sih jam 5 nanti, tapi mungkin bisa lebih lama, soalnya Mas Yoda hari ini ada tugas kelompok bersama teman-teman trainingnya”, jawabnya agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 1 siang berarti Yoda pulang kira-kira 4 atau 5 jam lagi, pikiranku mulai nakal. Aku mencoba mencari bahan pembicaraan yang kira-kira bisa memperpanjang obrolan kami agar aku bisa lebih dekat dengan Syanti. Agak lama aku terdiam.
Aku memandang matanya, memandang bibirnya yang basah. Bibirnya yang dipoles warna merah menambah sensual bentuknya yang tipis dan memang sangat indah itu. Semakin lama aaku melihatnya semakin aku berfantasi macam-macam.
Sungguh, jantungku deg-degan saat itu. Mata Syanti tidak berkedip sekejap pun membalas tatapan mataku. Sebuah desiran hangat mengalir keras di d*d*ku, dan aku sungguh yakin Syanti pun masih memiliki getar rasa yang sama denganku. Setelah agak lama kami terdiam,
“Teman-teman kamarmu yang lain lagi pada kemana semua, Santi?”, dengan mata menatap sekeliling aku bertanya sekenaku, menanyakan keberadaan anak-anak kost yang lain.
“Mas ini mau nyari Mas Yoda atau..”, kata-katanya terputus tapi aku bisa menerjemahkan kelanjutan kalimatnya dari senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan untuk to the point aja.
“Aku juga pengin ketemu denganmu, Santi!”, jawabku berpura-pura.
Dia tertawa pelan, “Mas, kenapa, sih?”, ia memandangku lembut.
“Boleh aku masuk, Santi? Ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu,”, jawabku lagi.
“Sebentar, ya.. Mas, kamar Santi lagi berantakan nih!” Syanti lalu menutup pintu di depanku.
Tidak beberapa lama berselang pintu terbuka kembali, lalu dia mempersilakan aku masuk ke dalam kamarnya. Aku duduk di atas kasur yang digelar di atas lantai.
Syanti masih sibuk membereskan pakaian-pakaian yang bertebaran di atas sandaran kursi sofa. Aku menatap tubuh Syanti yang membelakangiku. Saat itu dia mengenakan kaos ketat warna kuning yang memperlihatkan pangkal lengannya yang mulus.
Aku memandang pinggulnya yang ditutup oleh celana pendek. Tungkainya panjang serta p*hanya bulat dan mulus. Kej*nt*nanku menjadi tegang memandang semua keindahannya, ditambah dengan khayalanku dulu, ketika aku memiliki kesempatan membelai-belai lembut kedua pangkal p*hanya itu.
Kemudian Syanti duduk di sampingku. Lututnya ditekuk sehingga celananya agak naik ke atas membuat p*hanya semakin terpampang lebar. Kali ini tanpa malu-malu aku menatapnya dengan sepengetahuan Syanti. Dia mencoba menarik turun agak ke bawah ujung celananya untuk menutupi p*hanya yang sedang aku nikmati.
“Mas, mau bicara apa, sih?”, katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat, aku takut kalau sebenarnya aku tidak punya bahan pembicaraan yang berarti dengannya. Soalnya dalam pikiranku saat itu cuma ada khayalan-khayalan untuk berc*nta dengannya.
“Mmm.. San.. aku beberapa hari ini sering bermimpi,”, kataku berbohong. Entah dari mana aku mendapatkan kalimat itu, aku sendiri tidak tahu tetapi aku merasa agak tenang dengan pernyataan itu.
“Mimpi tentang apa, Mas?”, kelihatannya dia begitu serius menangapiku dilihat dari caranya memandangku.
“Tentang kamu, San”, jawabku pelan. Bukannya terkejut, malah sebaliknya dia tertawa mendengar bualanku. Sampai-sampai Syanti menutup mulutnya agar suara tawanya tidak terdengar terlalu keras.
“Emangnya Mas, mimpi apa sama aku?”, tanyanya penasaran.
“Ya.. biasalah, kamu juga pasti tahu”, jawabku sambil tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang tanganku. Aku benar-benar terkejut lalu menoleh ke arahnya.
“Mas ini ada-ada saja, Mas ‘kan sekarang sudah punya yang di rumah, lagian aku juga ‘kan sudah punya pacar, masa masih mau mimpi-mimpiin orang lain?”
“Makanya aku juga bingung, Santi. Lagian kalaupun bisa, aku sebenarnya nggak ingin bermimpi tentang kamu, Santi”, jawabku pura-pura memelas. Kami sama-sama terdiam. Aku meremas jemari tangannya lalu perlahan aku mengangkat menuju bib*rku. Dia memperhatikanku pada saat aku melabuhkan c*uman mesra ke punggung tangannya.
Aku menggeser posisi dudukku agar lebih dekat dengan tubuhnya. Aku memandangi wajahnya. Mata kami berpandangan. Wajahku perlahan mendekati wajahnya, mencari bib*rnya, semakin dekat dan tiba-tiba wajahnya berpaling sehingga mulutku mendarat di pipinya yang mulus.
Kedua tanganku kini bergerak aktif memeluk tubuhnya. Tangan kananku menggapai dagunya lalu mengarahkan wajahnya berhadapan dengan wajahku. Aku meraup mulutnya seketika dengan mulutku. Syanti menggeliat pelan sambil menyebutkan namaku.
“Mas.., cukup mas!”, tangannya mencoba mendorong d*d*ku untuk menghentikan kegiatanku. Aku menghentikan aksiku, lalu pura-pura meminta maaf kepadanya.
“Maafkan aku, Santi.. aku nggak sanggup lagi jika setiap malam memimpikan dirimu”, aku pura-pura menunduk lagi seolah-olah menyesali perbuatanku.
“Aku mengerti Mas, aku juga nggak bisa menyalahkan Mas karena mimpi-mimpimu itu. Bagaimanapun juga, kita pernah merasa deket Mas”,
Sepertinya Syanti memafkan dan memaklumi perbuatanku barusan. Aku menatap wajahnya lagi. Ada semacam kesedihan di wajahnya hanya saja aku tak tahu apa penyebabnya. Pipinya masih kelihatan memerah bekas cumb*anku tadi.
“Aku juga ingin membantu Mas agar tidak terlalu memikirkanku lagi, tapi..” kalimatnya terputus.
Dalam hati aku tersenyum dengan kalimat “ingin membantu..” yang diucapkannya.
“Santi, aku cuma ingin pergi berdua denganmu, sekali saja.., sebelum kamu benar-benar menjadi milik Yoda. Agar aku bisa melupakanmu”, kataku memohon.
“Kita kan sama-sama sudah ada yang punya, Mas.., nanti kalau ketahuan gimana?” Nah, kalau sudah sampai disini aku merasa mendapat angin.
Kesimpulannya dia masih mau pergi denganku, asal jangan sampai ketahuan sama Yoda. “Seandainya ketahuan.. aku akan bertanggung jawab, Santi”, setelah itu aku memeluknya lagi. Dan kali ini dia benar-benar pasrah dalam pelukanku. Malah tangannya ikut membalas memeluk tubuhku.
Telapak tanganku perlahan mengelus punggungnya dengan mesra, sementara bib*rku tidak tinggal diam menc*umi pipi lalu turun ke lehernya yang jenjang. Syanti mend*sah. Aku menc*umi kulitnya dengan penuh n*fsu. Mulutku meraup bib*rnya.
Syanti diam saja. Aku mel*mat bib*rnya, lalu aku menjulurkan l*dahku perlahan seiring mulutnya yang seperti mempersilakan l*dahku untuk menjelajah rongga mulutnya. Nafasnya mulai tidak teratur ketika l*dahku memilin l*dahnya. Kesempatan ini aku gunakan untuk membelai pay*daranya. Perlahan telapak tanganku aku tarik dari punggungnya melalui ket*aknya.
Tanpa berhenti membelai, telapak tanganku kini sudah berada pada sisi pay*daranya. Aku benar-benar hampir tidak bisa menguasai b*rahiku saat itu. Apalagi aku sudah sering membayangkan kesempatan seperti saat ini terulang lagi bersamanya. Kini telapak tanganku sudah berada di atas gundukan daging di atas d*d*nya.
Tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, justru yang seperti ini yang paling indah menurutku. Pada saat tanganku mulai meremas pay*daranya yang sebelah kanan, tangan Syanti mencoba menahan aksiku. pay*daranya masih kencang dan padat membuatku semakin bern*fsu untuk meremas-remasnya.
“Mas, jangan sekarang Mas.. Santi takut..”, katanya berulang kali. Aku juga merasa tindakanku saat itu betul-betul nekat, apalagi pintu kamar masih terbuka setengah. Jangan-jangan ada orang lain yang melihat perbuatan kami. Wah, bisa gawat jadinya. Aku akhirnya berdiri dari tempat dudukku untuk menenangkan suasana.
Aku bukanlah tipe laki-laki yang suka terburu-buru dalam berbagai hal, khususnya dalam masalah percintaan. Aku kini duduk di kursi sofa menghadap Syanti, sedangkan Syanti masih di atas kasur sambil memperbaiki rambut dan kaosnya kuningnya yang agak kusut.
“Mas, mau ngajak Santi ke mana, sih”, Syanti menatap wajahku.
“Pokoknya tempat di mana tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan kita, Santi”, jawabku sambil memandang permukaan d*d*nya yang baru saja aku remas-reMas.
Syanti duduk sambil bersandar dengan kedua tangan di belakang untuk menahan tubuhnya. pay*daranya jadi kelihatan menonjol. Aku memandang nakal ke arah pay*daranya sambil tersenyum. Kakinya diluruskan hingga menyentuh telapak kakiku.
“Tapi kalau ketahuan.. Mas yang tanggung jawab, yaa..”, katanya mencoba menuntut penjelasanku lagi. Aku mengangguk.
“Terus kapan jalan-jalannya, Mas?”,
“Gimana kalo besok sore jam 4, besok ‘kan Jum’at, bisa pulang lebih awal ‘kan?”, tanyaku.
“Ketemu di mana?”, tanyanya penasaran.
“Kamu telepon aku, kasih tahu kamu lagi dimana saat itu, lalu aku akan menjemputmu di sana, gimana?”, tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku, “Wah, Mas ternyata pintar banget untuk urusan begituan.”, Aku tertawa. “Tapi aku nggak mau kalau Mas nakalin aku kayak dulu lagi!!,”, tegasnya.
Aku terkejut namun pura-pura mengiyakan, soalnya tadi aku merasa besok aku sudah bisa menikmati kehangatan tubuh Syanti seperti dulu lagi. Makanya besok sengaja aku memilih waktu sore hari karena aku ingin mengajaknya menginap, kalau dia mau. Namun aku diam saja, yang penting dia sudah mau aku ajak pergi, tinggal penyelesaiannya saja.
Lagian ngapain dia mesti minta tanggung jawab, seandainya aku tidak berbuat apa-apa dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat besok sajalah. Pukul 3 siang, akhirnya aku harus kembali ke kantorku, di samping memang Syanti juga meminta aku segera pulang karena dia juga takut kalau tiba-tiba Yoda memergoki kami sedang berdua di kamar.
Namun sebelum pulang aku masih sempat menikmati bib*r Syanti sekali lagi waktu berdiri di samping pintu. Aku malah sempat menekan tubuh Syanti hingga punggungnya bersandar di dinding. Kesempatan ini aku gunakan untuk menekan kej*nt*nanku yang sedari tadi butuh penyaluran ke sel*ngk*ngannya.
Tetapi hal itu tidak berlangsung lama karena situasinya memang tidak memungkinkan. Di kantor.., di rumah.. aku selalu gelisah. Kejant*nanku senantiasa menegang membayangkan apa yang telah dan akan aku lakukan terhadap Syanti nanti.
Keesokan harinya, disaat aku menunggu tibanya saat bertemu, aku merasa waktu berjalan begitu lambat. Hingga pukul 5 sore, seperti waktu yang telah kami sepakati kemarin, aku sedang menanti-nanti telepon dari Syanti.
Aku mulai gelisah ketika 15 menit telah lewat, namun Syanti belum juga meneleponku. Aku mulai menghitung detik-detik yang berlalu hingga hampir setengah jam, dan tiba-tiba handphoneku berbunyi. Seketika aku mengangkat telepon itu.
Dari seberang sana aku mendengar suara Syanti yang sangat aku nanti-nantikan. Syanti meminta maaf sebelumnya, karena kesibukannya hari itu tidak memungkinkan baginya untuk pulang dari kantor lebih awal. Banyak pekerjaannya yang menumpuk, karena kemarin ia tidak masuk ke kantor.
Saat itu ia memintaku untuk menjemputnya di sebuah wartel dekat pertigaan di seberang kantornya. Aku langsung menyambar kunci mobil, lalu keluar dari kantorku dan bergegas menuju wartel tempat di mana Syanti sedang menungguku.
Aku memarkir mobil di depan wartel itu, dan tak lama berselang aku melihat Syanti keluar dari wartel, dengan memakai kaos ketat warna orange bertuliskan Mickey Mouse (tokoh favoritnya) di bagian d*d*nya, dipadukan celana jeans warna abu-abu.
Blazer kerjanya telah ia lepas, dan ditenteng bersama tas kerjanya. Aku masih ingat, ia memang selalu tampil ke kantor dengan pakaian casual setiap hari Jum’at. Syanti langsung naik ke atas mobilku, setelah memastikan tidak ada orang lain yang mengenalinya di tempat itu.
Aku tersenyum memandangnya. Syanti kelihatan begitu cantik hari ini. Bibirnya tidak dipoles dengan lipstik merah seperti biasanya. Ia hanya menyapukan lipsgloss tipis, yang membuat jantungku semakin deg-degan. Aku segera menancap gas menuju tol ke arah Ancol.
Selama di perjalanan, aku dan Syanti bercerita tentang berbagai hal, termasuk Yoda dan kehidupan keluargaku. Sesampainya di Ancol aku mengajak Syanti untuk makan di sebuah rumah makan di tepi laut yang nuansa romantisnya sangat terasa.
Tanpa canggung lagi aku memeluk pinggang Syanti, pada saat kami memasuki rumah makan tersebut. Syanti juga melingkarkan tangannya di pinggangku. Setelah memesan makanan dan minuman, aku memeluknya lagi. Tanganku bergerilya di sekitar pinggangnya yang terbuka.
Suasana lesehan di rumah makan itu, yang ruangannya disekat-sekat menjadi beberapa tempat dengan pembatas dinding bilik yang cukup tinggi, membuat aku bisa bertindak leluasa kepada Syanti.
“Tadi malam mimpi lagi, nggak?”, tanyanya memecah keheningan.
“Nggak, tapi aku sempat gelisah nggak bisa tidur karena terus membayangkanmu”, jawabku tanpa malu-malu.
Syanti tertawa, sambil tangannya mencubit pinggangku.
Hari sudah menjelang malam ketika kami meninggalkan tempat itu. Setelah berputar-putar di sekitar lokasi pantai, akhirnya aku memutuskan untuk menyewa sebuah kamar pada sebuah cottages di kawasan Ancol. Semula Syanti menolak, karena dia takut kalau kami tidak bisa menahan diri.
Aku akhirnya meyakinkan Syanti bahwa sebenarnya aku cuma ingin berdua saja dengannya, sambil memeluk tubuhnya, itu saja. Akhirnya Syanti mengalah. Ketika kami telah berada di dalam kamar cottages itu, Syanti tampak jadi pendiam.
Dia duduk di atas kursi memandang ke arah laut, sementara aku rebahan di atas tempat tidur. Aku mencoba mencairkan suasana, dengan kembali bertanya mengenai kesibukan pekerjaannya hari itu. Selama aku bertanya kepadanya, ia cuma menjawab singkat dengan kata-kata iya dan tidak. Hanya itu yang keluar dari mulutnya.
“Mas, pasti kamu menganggap aku cewek murahan, yaa.. kan?”, akhirnya Syanti mau mulai membuka pembicaraan juga.
Ternyata, dengan mengingat statusnya saat ini sebagai tunangan Yoda, Syanti masih belum bisa menerima perlakuanku yang membawanya ke dalam cottages ini.
Namun aku tidak menyesal karena dalam pikiranku sebenarnya dia sudah tahu apa yang akan terjadi, sejak kejadian kemarin siang di kamarnya. Tinggal bagaimana caranya aku bisa mengajaknya berc*nta tanpa ada pemaksaan sedikitpun.
“Santi, aku sudah bilang sejak kemarin kalau aku ingin berduaan saja bersamamu, sebelum Yoda benar-enar menikahi kamu. Aku hanya ingin memelukmu tanpa ada rasa takut, itu saja. Dan aku rasa di sinilah tempatnya”, jawabku mencoba memberikan pengertian kepadanya.
“Tetapi, apa Mas sanggup untuk tidak melakukan yang lebih dari itu?”, Syanti menatapku dengan sorotan mata tajam.
“Kalau kamu gimana?”, aku malah balik bertanya.
“Aku tanya, kok malah balik nanya ke aku sih?”, ia bertanya dengan nada agak ketus.
“Aku sanggup, Santi”, tegasku.
Akhirnya dia tersenyum juga. Syanti lalu berjalan ke arahku menuju tempat tidur lalu duduk di sampingku. Aku lalu merangkul tubuhnya dan membaringkan tubuhnya di atas kasur.
“Janji ya, Mas..!”, ujarnya lagi. Aku mengangguk.
Kini aku memeluk tubuh indah Syanti dengan posisi menyamping, sedang Syanti rebah menghadap ke atas langit-langit kamar. Aku menc*um pipinya, sambil jemariku membelai-belai bagian belakang telinganya. Matanya terpejam seolah menikmati usapan tanganku.
Aku memandangi wajahnya yang manis, hidungnya yang mancung, lalu bibirnya. Aku tidak tahan untuk berlama-lama menunggu, sehingga akhirnya aku memberanikan diri untuk menc*um bibirnya. Aku mel*mat bibir tipis itu dengan mesra, lalu aku mulai menjulurkan l*dahku ke dalam mulutnya.
Mulutnya terbuka perlahan menerima l*dahku. Cukup lama aku mempermainkan l*dahku di dalam mulutnya. l*dahnya begitu agresif menanggapi permainan l*dahku, sampai-sampai nafas kami berdua menjadi tersengal-sengal tidak beraturan.
Sesaat kemudian, c*uman kami terhenti untuk menarik nafas, lalu kami mulai berp*gutan lagi.. dan lagi.. Tangan kiriku yang bebas untuk melakukan sesuatu terhadap Syanti, kini mulai aku aktifkan. Aku membelai, meremasi pangkal lengannya yang terbuka.
Aku membuka telapak tanganku, sehingga jempolku bisa menggapai permukaan d*d*nya sambil tetap membelai lembut pangkal lengannya. Bibirku kini turun menyapu kulit putih di lehernya seiring telapak tanganku meraup bukit indah pay*daranya.
Syanti menggeliat bagai cacing kepanasan terkena terik mentari. Suara rintihan berulang kali keluar dari mulutnya, disaat l*dahku menjulur, menj*lat, membasahi, menikmati batang lehernya yang jenjang.
“Mas, jangan..!”, Syanti mencoba menarik telapak tanganku yang kini sedang mereMas, menggelitik pay*daranya.
Aku tidak peduli lagi. Lagi pula dia juga tampaknya tidak sungguh-sungguh untuk melarangku. Hanya mulutnya saja yang seolah melarang, sementara tangannya cuma sebatas memegang pergelangan tanganku, sambil tetap membiarkan telapak tanganku terus mengelus dan meremas buah d*d*nya yang mulai mengeras membusung.
Suasana angin pantai yang dingin di luar sana, sangat kontras dengan keadaan di dalam kamar tempat kami berg*mul. Aku dan Syanti mulai merasa kegerahan. Aku akhirnya membuka kaosku sehingga bertelanjang d*d*. “Santi, Mas sangat ingin melihat pay*daramu, ‘yang..”, ujarku sambil mengusap bagian puncak put*ng pay*daranya yang menonjol.
Syanti kembali menatapku tajam. Mestinya aku tidak perlu memohon kepadanya karena saat itupun aku sudah membelai dan meremas-remas pay*daranya. Tetapi entah mengapa aku lebih suka jika Syanti yang membuka kaosnya sendiri untukku.
“Tapi janji Mas yaa.., cuma yang ini aja”, katanya lagi. Aku cuma mengangguk, padahal aku tidak tahu apa yang mesti aku janjikan lagi. Syanti akhirnya membuka kaos ketat warna orange-nya di depan mataku. Aku terkagum-kagum ketika menatap dua gundukan daging di d*d*nya, yang masih tertutup oleh sebuah br* berwarna hitam.
pay*dara itu begitu membusung, menantang. Bukit-bukit di d*d* Syanti naik turun seiring dengan d*sah nafasnya yang memburu. Sambil berbaring Syanti membuka pengait br* di punggungnya. Punggungnya melengkung indah. Aku menahan tangan Syanti ketika dia mencoba untuk menurunkan tali br*-nya dari atas pundaknya.
Justru dengan keadaan br*-nya yang longgar karena tanpa pengait seperti itu, membuat pay*daranya semakin menantang. pay*daranya sangat putih kontras dengan warna br*-nya, sangat terawat dan sangat kencang, seperti yang selama ini selalu aku bayang-bayangkan.
“pay*daramu masih tetap bagus sekali. Santi, kamu pintar merawat, yaa..”, aku mencoba mengungkapkan keindahan pada tubuhnya. “Pantes si Yoda jadi tergila-gila sama dia,”, pikirku. Lalu, perlahan-lahan aku menarik turun cup br*-nya. Mata Syanti terpejam.
Perhatianku terfokus ke put*ng s*s*nya yang berwarna merah kecoklatan. Lingkarannya tidak begitu besar, namun ujung-ujung puncaknya begitu runcing dan kaku. Aku mengusap put”ngnya lalu aku memilin dengan jemariku. Syanti mend*sah. Mulutku turun ingin mencicipi pay*daranya.
“Egkhh..”, rintih Syanti ketika mulutku mel*mat put*ng s”s*nya. Aku mempermainkan dengan l*dah dan gigiku. Sekali-sekali aku menggigit lembut put*ngnya, lalu aku h*sap kuat-kuat sehingga membuat Syanti menarik, menjambak rambutku.
Puas menikmati buah d*d* yang sebelah kiri, aku menc*um buah d*d* Syanti yang satunya, yang belum sempat aku nikmati. Rintihan-rintihan dan d*sahan kenikmatan silih berganti keluar dari mulut Syanti. Sambil menc*umi pay*dara Syanti, tanganku turun membelai perutnya yang datar,
Berhenti sejenak di pusarnya lalu perlahan turun mengitari lembah di bawah perut Syanti. Aku membelai p*hanya sebelah dalam terlebih dahulu sebelum aku memutuskan untuk mer*ba bagian kew*nitaannya yang masih tertutup oleh celana jeans ketat yang dikenakan Syanti.
Secara tiba-tiba, aku menghentikan kegiatanku, lalu berdiri di samping ranjang. Syanti tertegun sejenak memandangku, lalu matanya terpejam kembali ketika aku membuka pantalon warna hitam yang aku kenakan.
Sengaja aku membiarkan lampu kamar cottage itu menyala terang, agar aku bisa melihat secara jelas detil dari setiap inci tubuh Syanti yang selama ini sering aku jadikan fantasi s*ksualku.
Aku masih berdiri sambil memandang tubuh Syanti yang tergolek di ranjang, menantang.
Kulitnya yang putih membuat mataku tak jemu memandang. Perutnya begitu datar. Celana jeans ketat yang dipakainya telihat terlalu longgar pada pinggangnya namun pada bagian pinggulnya begitu pas untuk menunjukkan lekukan pant*tnya yang sempurna.
Puas memandangi tubuh Syanti, lalu aku membaringkan tubuhku di sampingnya. Aku merapikan untaian rambut yang menutupi beberapa bagian pada permukaan wajah dan leher Syanti. Aku membelai lagi pay*daranya. Aku menc*um bib*rnya sambil aku masukkan air l*urku ke dalam mulutnya. Syanti menelannya.
Tanganku turun ke bagian perut lalu menerobos masuk melalui pinggang celana jeans-nya yang memang agak longgar. Jemariku bergerak lincah mengusap dan membelai selangk*ngan Syanti yang masih tertutup cel*na d*lamnya.
Syanti menahan tanganku, ketika j*ri t*ngah tanganku membelai permukaan cel*na d*lamnya tepat diatas kew*nitaannya. Ia telah basah.. Aku terus mempermainkan j*ri t*ngahku untuk menggelitik bagian yang paling pribadi pada tubuh Syanti.
Syanti mengerang lirih. Matanya perlahan terpejam. Giginya menggigit bibir bawahnya untuk menahan laju b*rahinya yang semakin kuat. Aku menatap mata Syanti penuh hasrat n*fsu. Bola matanya seakan memohon kepadaku untuk segera memasuki tubuhnya.
“Aku ingin berc*nta denganmu, Santi”, bisikku pelan, sementara kepala kejant*nanku masih menempel di belahan l*ang kew*nitaan Syanti. Kata-kataku yang terakhir ini ternyata membuat wajah Syanti memerah. Mungkin, ketika bersama Yoda, dia jarang mendengar permintaan yang terlalu to the point begitu.
Aku bisa memastikan, Syanti agak malu mendengarnya. Aku berhenti sesaat untuk menunggu jawaban permohonanku kepadanya, karena bagaimana pun aku tidak mau melakukan pers*tubuhan tanpa memperoleh persetujuan darinya. Aku bukan tipe laki-laki yang demikian.
Bagiku berpaducinta adalah kesepakatan, sepakat berdasarkan kesadaran tanpa adanya unsur pemaksaan. Syanti menatapku sendu lalu mengangguk pelan sebelum memejamkan matanya. Bukan main rasa senangnya hatiku.
Akhirnya.. “..yes!”. Aku berjanji akan memperlakukannya dengan hati-hati sekali, begitu yang ada dalam fikiranku.
Kini aku berkonsentrasi penuh dengan menuntun b*tang kejant*nanku yang perlahan mulai menyusup melesak ke dalam liang kew*nitaan Syanti. Mula-mula terasa seret memang, namun aku malah semakin menyukainya. Perlahan namun pasti, kepala kejant*nanku membelah liang kew*nitaannya yang ternyata begitu kencang menjepit b*tang kejant*nanku.
Dinding dalam kew*nitaan Syanti ternyata sudah begitu licin, sehingga agak memudahkan kej*nt*nanku untuk menyusup lebih ke dalam lagi. Syanti memeluk erat tubuhku sambil membenamkan kuku-kukunya di punggungku, hingga aku agak kesakitan. Namun aku tak peduli.
“Mas, gede banget, occhh..”, Syanti menjerit lirih. Tangannya turun menangkap batang kej*nt*nanku. “Pelan maas..”, ujarnya berulang kali, padahal aku merasa aku sudah melakukannya dengan begitu pelan dan hati-hati.
Mungkin karena lubang kew*nitaannya tidak pernah lagi dimasuki b*tang kem*luan seperti milikku ini. Soalnya aku tahu pasti ukuran kej*nt*nan Yoda, pacar Syanti tidaklah sebesar yang aku miliki. Makanya Syanti agak merasa kesakitan.
Akhirnya batang kej*nt*nanku terbenam juga di dalam kew*nitaan Syanti. Aku berhenti sejenak untuk menikmati denyutan-denyutan yang timbul akibat kontraksi otot-otot dinding kew*nitaan Syanti. Denyutan itu begitu kuat, sampai-sampai aku memejamkan mata untuk merasakan kenikmatan yang begitu sempurna.
Aku mel*mat bib*r Syanti sambil perlahan-lahan menarik b*tang kej*nt*nanku,.. untuk selanjutnya aku benamkan lagi, masuk.., keluar.., masuk.., keluar.. Aku meminta Syanti untuk membuka kelopak matanya. Syanti menurut.
Aku sangat senang melihat matanya yang semakin sayu menikmati b*tang kej*nt*nanku yang keluar masuk di dalam kew*nitaannya.
“Aku suka kew*nitaanmu, Santi, kew*nitaanmu masih tetap rapet, ‘yang”, ujarku sambil merintih keenakan.
Sungguh, liang kew*nitaan Syanti masih terasa enak sekali.
“Icchh.. Mas ngomongnya sekarang vulgar banget”, balasnya sambil tersipu malu, lalu ia mencubit pinggangku.
“Tapi enak ‘kan, ‘yang?”, tanyaku, yang dijawab Syanti dengan sebuah anggukan kecil.
Aku meminta Syanti untuk menggoyangkan pinggulnya. Syanti langsung mengimbangi gerakanku yang naik turun dengan goyangan memutar pada pinggangnya. “Suka batang kej*nt*nanku, Santi?”, tanyaku lagi. Syanti hanya tersenyum.
Batang kej*nt*nanku terasa seperti diremas-reMas. Masih ditambah lagi dengan jepitan l*ang sengg*manya yang sepertinya punya kekuatan magis untuk meny*dot meluluh lantakkan otot-otot kej*nt*nanku. “Makin pintar saja dia menggoyang”, batinku dalam hati.
“Occhh..”, aku menjerit panjang. Rasanya begitu nikmat. Aku mencoba mengangkat d*d*ku, membuat jarak dengan d*d*nya, dengan bertumpu pada kedua tanganku. Dengan demikian aku semakin bebas dan leluasa untuk mengeluar-masukkan b*tang kej*nt*nanku ke dalam l*ang sengg*ma Syanti.
Aku memperhatikan dengan seksama kej*nt*nanku yang keluar masuk lincah di sana. Dengan posisi seperti ini aku merasa begitu jantan. Syanti semakin melebarkan kedua p*hanya, sementara tangannya melingkar erat di pinggangku.
Gerakan naik turunku semakin cepat mengimbangi goyangan pinggul Syanti yang semakin tidak terkendali.
“Santii.. enak banget, ‘yang, kamu makin pintar, ‘yang..”, ucapku merasa keenakan.
“Kamu juga, Mas.., Santi juga enakk..”, , jawabnya agak malu-malu.
Syanti merintih dan mengeluarkan erangan-erangan kenikmatan. Berulang kali mulutnya mengeluarkan kata-kata, “aduh..occhh..”, yang diucapkan terputus-putus. Aku merasakan l*ang sengg*ma Syanti semakin berdenyut sebagai pertanda Syanti akan mencapai puncak pendakiannya.
Aku juga merasakan hal yang sama dengannya. Namun aku mencoba bertahan dengan menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya pelan-pelan, untuk menurunkan daya rangs*ngan yang aku alami. Aku tidak ingin segera menyudahi permainan ini dengan tergesa-gesa.
Aku mempercepat goyanganku ketika aku menyadari Syanti hampir mencapai org*smenya. Aku meremas pay*daranya kuat-kuat, seraya mulutku mengh*sap dan menggigiti put*ng s*s* Syanti. Aku mengh*sap dalam-dalam. “Occhh.. Mas..”, jerit Syanti panjang.
Aku membenamkan batang kej*nt*nanku kuat-kuat ke l*ang sengg*manya hingga mencapai dasar rongga yang terdalam. Syanti mendapatkan kenikmatan yang sempurna. Tubuhnya melengkung indah dan untuk beberapa saat lamanya tubuhnya mengejang.
Kepalaku ditarik kuat-kuat hingga terbenam di antara dua bukit pay*daranya. Pada saat tubuhnya menghentak-hentak, ternyata aku merasa tidak sanggup lagi untuk bertahan lebih lama.
“Saanntii.. aakuu.. mau keluaarr.. saayang.. occhh.. hh..”, jeritku.
Aku ingin menarik keluar batang kej*nt*nanku dari dalam l*ang sengg*manya. Namun Syanti masih ingin tetap merasakan org*smenya, sehingga tubuhku serasa dikunci oleh kakinya yang melingkar di pinggangku.
Saat itu juga aku merasa hampir saja memuntahkan cairan hangat dari ujung kej*nt*nanku yang hampir meledak. Aku merasakan tubuhku bagaikan layang-layang putus yang melayang terbang, tidak berbobot. Aku tidak sempat menarik keluar batang kej*nt*nanku lagi, karena secara spontan Syanti juga menarik pant*tku kuat ke tubuhnya, berulang kali.
Mulutku yang berada di belahan d*d* Syanti mengh*sap kuat kulit putihnya, sehingga meninggalkan bekas merah pada disana. Telapak tanganku mencengkram buah d*d* Syanti. Aku meraup semuanya, sampai-sampai Syanti merasa agak kesakitan. Aku tak peduli lagi.
Hingga akhirnya.. plash.. plash.. plash.. (8X), sp*rmaku akhirnya muncrat membasahi lubang sorganya. Aku merasakan nikmat yang tiada duanya ditambah dengan goyangan pinggul Syanti pada saat aku mengalami org*sme. Tubuhku akhirnya lunglai tak berdaya di atas tubuh Syanti.
B*tang kej*nt*nanku masih berada di dalam l*ang kenikmatan Syanti. Syanti mengusap-usap permukaan punggungku. “Kamu menyesal, Santi?”, ujarku sambil menc*um pipinya. Syanti menggeleng pelan sambil membalas membelai rambutku. Aku tersenyum kepadanya. Syanti membalas.
Aku meyandarkan kepalaku di d*d*nya. Jam telah menunjukkan pukul 21:00 dan aku mesti cepat pulang ke rumah, karena tadi aku tidak sempat membuat alasan untuk pulang terlambat. Begitu pula dengan Syanti, yang saat itu telah memiliki kebiasan baru selayaknya calon pasangan suami istri, yaitu makan malam bersama Yoda di rumah kost mereka.
Sebelum berpisah, kami berc*uman untuk beberapa saat. Itu adalah c*uman kami yang terakhir.., percintaan kami yang terakhir.., sebelum akhirnya Yoda menikahi Syanti, 2 bulan kemudian.